Belakangan ini kita sering mendengar
berita-berita tentang banyaknya akhlak-akhlak para pemuda yang rusak. Di
lingkungan pelajar dan mahasiswa misalnya, sering kita dengar tawuran
antar pelajar, siswa-siswi yang tidak berakhlak, dan pergaulan bebas.
Oleh karena itu siapapun yang mendambakan keselamatan dan keberuntungan
dalam hidupnya, tidak ada jalan lain baginya kecuali dengan tazkiyatun nufus (penyucian jiwa). Menyucikan diri dari kefasikan, keburukan amalnya dan akhlak yang buruk.
Bagaimanakah cara dan metode menyucikan
diri yang benar? Adakah metode-metode yang khusus yang lazim dilakukan
oleh orang yang akan memperbaiki akhlaknya? Apakah pengalaman pribadi,
perasaan seseorang dan bisikan hati bisa dijadikan landasan amal dalam
hal ini?
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan oleh manusia tanpa
petujuk dari Rasul mereka. Tidak terkecuali dalam masalah perbaikan
akhlak, hendaknya kita kembalikan kepada petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagai satu-satunya manusia yang ahli di bidang tersebut.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman,
sesungguhnya memperbaiki akhlak dengan tujuan membentuk akhlak yang
mulia merupakan faktor utama bagi kekuatan dan keagungan umat.
Sesungguhnya nilai suatu umat itu terdapat pada akhlaknya. Jika akhlak
itu hilang maka hilang pula nilai umat tersebut. Karena itulah perbaikan
akhlak memiliki peranan yang sangat penting, karena dia sangat
berpengaruh bagi baik atau buruknya suatu umat.
Di samping itu perbaikan akhlak menjadi
landasan tegaknya perintah-perintah Allâh Ta'ala di dalam jiwa manusia.
Jika jiwa manusia dibiasakan dengan akhlak mulia dan lurus, niscaya jiwa
tersebut akan senang dan bangga dalam mengagungkan syiar-syiar Allâh
Ta'ala dan berjalan diatas manhaj-Nya.
Tidak ada ucapan yang lebih benar dari firman Allâh Ta'ala. Dia berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah),
dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj/22: 32)
dan barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj/22: 32)
Akhlak yang mulia merupakan inti ajaran
syariat yang toleran dan kumpulan ajaran agama yang menjadi tujuan
diutusnya Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Karena
itu jiwa ini harus dikondisikan dengan akhlak tersebut sehingga
mendapatkan kebahagiaan dan patuh terhadap perintah Allâh Ta'ala.
Sesungguhnya tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) dan membersihkannya dari setiap kotoran, juga meningkatkan pada akhlak yang mulia. Karena tazkiyatun nufus merupakan landasan dalam memulai sebuah kehidupan yang islami sesuai dengan manhaj para nabi.
Oleh karena itu Allâh Ta'ala telah
menentukan media untuk membersihkan jiwa. Dan Rasulullah telah
menjelaskan media tersebut agar dapat sampai ke tujuannya. Tazkiyatun
nufus sama sekali tidak memiliki cara yang khusus selain ajaran Islam
itu sendiri. Hal itu dapat diterangkan lebih jelas lagi dengan 3 kaidah
mulia, yaitu:
Kaidah pertama :
Meneliti seluruh syariat agama secara menyeluruh.
Ketika kita meneliti syariat agama secara menyeluruh lalu menghubungkan dengan tazkiyatun nufus,
maka kita akan menemukan bahwasanya Islam merupakan kumpulan aqidah dan
hukum yang tujuan akhirnya adalah ketakwaan dan akhlak yang mulia.
Kaidah kedua :
Mengetahui sifat-sifat muttaqin (orang-orang bertakwa) yang sempurna dan mukminin (orang-orang beriman) yang ikhlas.
Sifat sempurna bagi seorang muttaqin
yang ahli dalam ibadah adalah keimanan yang mempunyai daya positif dan
dinamis, persatuan yang tegak berdiri di atas dasar ketakwaan dan ibadah
kepada Allâh Ta'ala, sehingga dapat mencetak satu umat yang berakhlak
mulia. Jiwa yang mukmin mempunyai sifat yang ridha terhadap Islam
sebagai agama dan manhaj kehidupan.
Kaidah ketiga:
Mengetahui siapakah wali (kekasih Allah) itu?
Wali-wali Allah adalah orang-orang
mukmin yang bertakwa. Makna dari takwa adalah melaksanakan semua
perintah Allâh Ta'ala dan menjauhi larangan-Nya. Dengan takwa seseorang
dapat mencapai akhlak yang mulia. Dengan mengetahui orang-orang mukmin
yang menjadi wali Allâh, kita bisa
menjadikan orang-orang mukmin tersebut sebagai panutan dalam berakhlak.
menjadikan orang-orang mukmin tersebut sebagai panutan dalam berakhlak.
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah
terdapat hubungan yang sangat kuat sekali. Karena akhlak yang baik itu
sebagai bukti dari keimanan, dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas
lemahnya iman, semakin sempurna akhlak seorang muslim berarti semakin
kuat imannya. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang bagus akhlaknya
dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR.Tirmidzi)
dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR.Tirmidzi)
Sungguh akhlak yang mulia itu meninggikan derajat seseorang di sisi Allâh Ta'ala, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Sesungguhnya seseorang mukmin itu akan mendapatkan derajat orang berpuasa
dan orang yang menegakkan shalat malam dikarenakan kebaikan akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud)
dan orang yang menegakkan shalat malam dikarenakan kebaikan akhlaknya.”
(HR. Abu Dawud)
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Allâh Ta'ala berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau (Rasûlullâh) berbudi pekerti yang agung.”
(QS. Al-Qolam: 4)
(QS. Al-Qolam: 4)
Begitu pula para sahabat, mereka adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasûlullâh. Dan di antara akhlak Shalafus Shalih yaitu:
- Ikhlas dalam berilmu serta takut dari riya’.
- Jujur dalam segala hal.
- Sungguh-sungguh dalam menjalankan amanah.
- Menjunjung tinggi hak-hak Allâh dan Rasul-Nya.
- Lembut hatinya.
- Banyak berdzikir kepada Allâh Ta'ala.
- Tawadhu’ (rendah hati).
- Banyak bertaubat.
- Pemalu.
- Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka menggunjing.
- Banyak memaafkan dan sabar.
- Banyak bersedekah.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap akhlak seseorang:
1. |
Lingkungan (masyarakat)
Karena lingkungan termasuk konsekwensi
pada akhlak sesorang, jika Allah l mengadzab suatu kaum, maka bisa saja
orang yang soleh sekalipun apabila Allah berkehendak, maka ia juga
takkan luput dari adzab tersebut. Oleh karena itu, perhatikan dan mawas
lingkunganlah selalu agar tidak terjadi apa yang ditakutkan dari
buruknya akhlak seseorang.
|
2. |
Sifat sombong
Sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Kesombongan adalah menolak kebenaran
dan meremehkan orang lain.” Mengapa sifat ini berpengaruh pada buruknya akhlak?
Ya, karena jika seseorang telah menolak
kebenaran, berarti ia telah membuang akhlak baiknya dan menampakkan
keburukan akhlaknya. Dan melecehkan atau meremehkan orang yang
menyampaikan kebenaran merupakan akhlak yang sangat buruk sekali, dan
tak ada yang memungkiri hal ini.
|
3. |
Ilmu yang benar
Inilah faktor yang paling berpengaruh
dalam baiknya akhlak seseorang. Jika seseorang telah membekali dirinya
dengan ilmu yang benar, maka konsekwensinya adalah mengamalkan ilmu
tersebut. Semakin berilmu seseorang, semakin tawadhu’ pula sifatnya. Dan ini mendorongnya untuk selalu mengintropeksi akhlaknya dengan ilmu-ilmu yang telah ia dapatkan.
Karena konsekwensi dari ilmu adalah
amal, maka demikian pula sebaliknya, jika seseorang tidak membekali
dirinya dengan ilmu, maka ia akan buta terhadap akhlak yang baik, ia
tidak dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik. Sebagaimana
orang dungu yang tidak mengetahui antara siang dan malam. Inilah yang
akan menjerumuskannya ke dalam jurang keburukan akhlak. Wal’iyadzu billah.
|
Ya Allah,
Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang selalu berada di atas petunjuk-Mu,
Arahkanlah kami kepada akhlak yang mulia,
Serta tetapkanlah hati kami di atas jalan-Mu.
Jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang selalu berada di atas petunjuk-Mu,
Arahkanlah kami kepada akhlak yang mulia,
Serta tetapkanlah hati kami di atas jalan-Mu.
Referensi: - Al-Qur’an dan terjemahan. - Prinsip dasar Islam, Ust. Yazid Abdul Qodir Jawaz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar