وعلى الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين
"Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (Al-Maidah: 23).
Allah befirman kepada Rasul-Nya,
فإذا عزمت فتوكا على الله، إن الله يحب المتوكلين
"Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal lah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran: 159).
Masih
banyak firman Allah yang menjelaskan tawakkalnya para nabi, rasul dan
orang-orang yang beriman. Silahkan lihat Al Qur'an surat 14: 12; surat
65: 3; surat 60: 4; 25: 58; surat 14: 12; surat 3: 173, dll.
(وعلى الله فليتوكل المؤمنون) ، (ومن يتزكل على الله فهو حسبه) ،
(وتوكل على الحي الذي لا يموت وسبح بحمده) ، (ربنا عليك توكلنا ,إليك أنبنا وإليك المصير)
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan
hadits tentang tu juh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab.
Mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai mantra, tidak meramal
yang buruk-buruk, tidak mengobati dengan sundutan api, dan hanya
bertawakal kepada Allah.
Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata,
حسبنا الله ونعم الوكيل
"Hasbunallah wa ni'mal-wakil", diucapkan Ibrahim Alaihis-Salam, ketika beliau dilemparkan ke kobaran api, dan juga dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat orang-orang berkata kepada beliau,
إن الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم ، فزادهم إيمانا، وقالوا حسبنا الله ونعم الوكيل
"Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka".
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa berdoa,
اللهم
لك أسلمت وبك آمنت وعليك توكلت ، وإليك أنت، وبك حاصمت، اللهم إني أعوذ
بعزتك ، لا إله إلا أنت، أن تضلني أنت الحي الذي لا يموت، والجن والإنس
يموتون..
"Ya
Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepa-da-Mu
aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku bermusuhan. Ya
Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada kemuliaan-Mu, yang tiada llah
selain Engkau, agar Engkau (tidak) menyesatkanaku. Engkau Yang Mahahidup
yangtiada mati, sedangkan jin dan manusia mati."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab secara marfu',
لو أنكم تتوكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير، تغدوا خماصا وتروح بطانا
"Sekiranya
kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal,
niscaya Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia
memberikan rezki kepada burung, yang pergi pada
pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam
keadaan kenyang."
Di dalam As-Sunan disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
من
قال – يعني إذا خرج من بيته – بسم الله، توكلت على الله ، ولا حول ولا قوة
إلا بالله ، يقال له: هُدِيْتَ ووُقِيْتَ وكفِيْتَ ، فيقول الشيطان
لشيطان آخر : كيف لكَ بِرجلٍ قد هُدِيَ وكُفِيَ ووُقِيَ ؟
"Barangsiapa
mengucapkan (saat keluar dari rumalinya), 'Dengan asma Allah, aku
bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah',
maka dikatakan kepadanya, 'Kamu mendapat petunjuk, dilindungi dan
dicukupkan. Lalu syetan berkata kepada syetan lainnya, 'Bagaimana
mungkin kamu bisa memperdayai orang yang telah mendapat petunjuk,
dilindungi dan dicukupi?'"
Tawakkal merupakan separoh agama dan separohnya lagi adalah inabah.
Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah.
Tawakkal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah.
Tawakkal
merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang
senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena
luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghuni alam, keumuman
tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Muk-min dan juga orang-orang
kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan
binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal,
sekalipun kaitan tawakkal mereka berbe-da-beda.
Para
wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakkal kepada Allah
karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad
memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah karena
kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah.
Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu
yang hendak didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat
melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula
yang bertawakkal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan
berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan,
biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan
kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini lebih kuat daripada
tawakkalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam
kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan
mereka dan mengabulkan keinginan mereka.
Tawakkal
yang paling baik ialah tawakkal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran,
hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling
bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam
kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan aga-ma. Jni merupakan
tawakkalnya para nabi dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan
kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para
pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari
hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah
untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk
mendapatkan serpihan roti.Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada
Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika
sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan
mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu
dibenci Allah, maka apa yang diperoleh-nya itu justru akan membahayakan
dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka
dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya,
selagi hal itu tidak dimak-sudkan untuk ketaatan kepada-Nya.
Berikut ini akan kami jelaskan makna tawakkal dan derajat-derajatnya serta berbagai pendapat tentang tawakkal ini.
Al-Imam
Ahmad berkata, "Tawakkal adalah amal hati. Karena ia merupakan amal
hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota
tubuh. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu atau pun teori."
Namun
di antara manusia ada pula yang menganggapnya masalah ilmu dan
ma'rifat, dengan mengatakan, "Tawakkal merupakan ilmu hati atas jaminan
Allah yang diberikan kepada hamba."
Sahl berkata, "Tawakkal merupakan kepasrahan kepada Allah menurut apa pun yang dikehendaki-Nya."
Bisyr
Al-Hafy berkata, "Adakalanya seseorang yang berkata, 'Aku tawakkal
kepada Allah', tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia
benar-benar tawakkal kepada Allah, tentu dia meridhai apa pun yang
dilakukan Allah terhadap dirinya."
Yahya
bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seseorang bisa disebut orang yang
tawakkal?" Maka dia menjawab, "Jika dia ridha kepada Allah sebagai
wakilnya."
Di antara mereka ada yang menafsiri tawakkal dengan keyakinan terhadap Allah, tenang dan damai terhadap-Nya.
Ibnu
Atha' berkata, "Tawakkal ialah jika engkau tidak mempunyai
kecenderungan kepada sebab-sebab tertentu, sekalipun engkau sangat
membutuhkannya. Hakikat kedamaian tidak akan beralih ke kebenaran selagi
engkau mengandalkan sebab-sebab itu."
Dzun-Nun
berkata, "Tawakkal artinya tidak bersandar kepada pengaturan diri
sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri.
Tawakkal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allah mengawasi dan melihat dirinya."
Ada yang berkata, "Tawakkal ialah bergantung kepada Allah di se-tiap keadaan."
Ada
pula yang berpendapat, "Tawakkal ialah jika engkau menolak
sumber-sumber kebutuhan dan engkau tidak kembali kecuali kepada Dzat
yang benar-benar memberi kecukupan."
Ada pula yang berkata, "Tawakkal ialah menghilangkan segala keragu-raguan dan berserah diri kepada Raja Segala Raja."
Abu Sa'id Al-Kharraz berkata, "Tawakkal ialah kegelisahan tanpa ketenangan dan ketenangan tanpa kegelisahan."
Abu
Turab An-Nakhsyaby berkata, "Tawakkal ialah menghempas-kan badan untuk
beribadah, menggantungkan hati dalam Rububiyah, merasa tenang karena ada
kecukupan, jika diberi bersyukur dan jika di-tolak sabar."
Abu
Ali Ad-Daqqaq berkata, "Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu
sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang
karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya
tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya.
Tawakkal
merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah
merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orangorang Mukmin,
berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat
muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam,
berserah
diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat
orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus.
Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam."
Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakkal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakkal.
Pada
hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai
perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh
rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari
perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:
1.
Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan
kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat
kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang
menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal.
Syaikh
kami (Ibnu Taimiyah) berkata, "Karena itu tawakkal tidak akan menjadi
benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun
golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada
sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang
meniadakan sifat Allah. Tawakkal macam apakah yang keluar dari orang
yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan
alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung
satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan
sifat-sifat-Nya, maka tawakkal-nya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah
yang lebih mengetahui hal ini."
2. Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini
kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa
menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan
tawakkal. Ketahuilah
bahwa
tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali.
Sebab tawakkal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa
yang ditawakkali. Tawakkal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai
sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba
percaya bahwa tawakkalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam
memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap
diperolehnya, baik dia tawakkal atau tidak tawakkal, berdoa atau tidak
berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya. Jika tidak
ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akan diperolehnya, tawakkal atau
tidak tawakkal.
Orang-orang
yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakkal dan doa adalah
ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya ha-nya ubudiyah itu
semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan
mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak
memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut
sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa
doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang
berdoa berada di antara ketakutan dan harapan. Kesangsian terhadap
pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah.
Perhatikanlah
bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menye-ret mereka ke dalam
dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa.
Padahal
Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan
memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah duga-an mereka yang batil, dapat
dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan
dari dua bagian di atas, yaitu kenya-taan. Dengan kata lain, bahwa Allah
menetapkan tawakkal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa
yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba
mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak
mengerjakan
sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti
ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima'
dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima'
dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya.
Allah
menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia
tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk surge jika dia masuk
Islam dan mengerja-kan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka
selamanya dia tidak akan masuk surga.
Sekarang
bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari
sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, "Kalau memang
sudahditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk
mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu
semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah
atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja.
Tapi
jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu juga tidak akan terjadi
pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat." Apakah orang yang berkata
seperti ini dianggap sebagai orang yang waras?
Bukankah
binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha
melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara umum.
Tawakkal
merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan
dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Sia-pa yang mengingkari
sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Tapi tawakkal yang sempurna juga
tidak mengandalkan sebab semata dan
memutuskan hubungan hati dengannya.
3. Memantapkan hati pada pijakantauhid. Tawakkal
seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan
hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada
kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian
tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal. Jika seorang hamba
berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di
dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakkalnya kepada Allah
karena
ada-nya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian
orang bahwa tawakkal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara
total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati
dan bukan dari anggota tubuh. Tawakkal tidak benar kecuali dengan
menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh
kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada
hubungan dengan sebab.
4. Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena
bergantung
kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau
saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai
dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah
dan ketenangannya bergantung kepadaNya,
telah
melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang
berhadap-an dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya,
lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka
pintunya,
lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya. Dia
melihat musuh ada di luar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau
karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja.
Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata
kepadanya, "Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah.
Jika engkau mau datang ke tempatku, akan kuberikan se-berapa pun yang
engkau minta." Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya
dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.
5. Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa
jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu
kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka
terhadap Allah. Yang benar, baik.sangka ini mengajak kepada tawakkal.
Sebab tawakkal tidak
bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.
6. Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya.
Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, "Hendaknya
seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang
memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan
dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur.
Inilah
makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakkal adalah membebaskan diri
dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah. Tapi ini
tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang
diperbuat Allah terhadap dirimu danbukan dalam perkaraperkara yang
diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.
7. Pasrah
(Tafwidl). Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu
menyerahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan
pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah
seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan
ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan
melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan
yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi
dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya.
8. Ridlo.
Jika seorang hamba sudah sampai ke derajat ini, maka dia akan beralih
ke derajat lain, yaitu ridha, yang merupakan buah tawakkal, sehingga ada
yang menafsiri tawakkal dengan ridha. Berarti penafsiran ini hanya
melihat sisi buah tawakkal dan manfaatnya yang paling besar. Sebab siapa
yang tawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, tentu dia ridha
terhadap apa pun yang dilakukan wakilnya.
Syaikh
kami, Ibnu Taimiyah berkata, "Yang menjadi ukuran adalah dua perkara:
Tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang tawakkal kepada
Allah sebelum berbuat dan ridha kepada-Nya setelah berbuat, berarti dia
telah menegakkan ubudiyah."
Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sehubungan dengan doa istikharah,
اللهم إني أستخيرك بعلمك واستقدرك بقدرتك، وأسألك من فضلك العظيم
"Ya
Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku
memohon kekuasaan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon
kepada-Mu dari karunia-Mu yang agung."
Ucapan ini mencerminkan tawakkal dan kepasrahan. Kelanjutan doa ini,
فإنك تعلم ولا أعلم، وتقدر ولا أقدر، وأنت علاّم الغيوب
"Sesungguhnya
Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau berkuasa dan aku
tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui yang gaib". Ini mencerminkan
kepasrahan kepada Allah dalam masalah ilmu, daya dan kekuatan serta
tawassul kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan tawassul
paling disukai orang-orang yang tawassul kepada-Nya. Kelanjutan doa
istikharah ini adalah permohonan agar Allah memenuhinya jika di dalamnya
ada kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Maka yang menyisa baginya hanya
ridha terhadap ketetapan Allah, dengan berkata,
واقدرْلي الخير حيث كان، ثم رضِّنِي بِهِ
"Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun bentuknya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya."
Doa
istikharah ini mencakup ma'rifat tentang Allah, hakikat-hakikat iman,
seperti tawakkal, kepasrahan sebelum ada ketetapan dan ridha setelah ada
ketetapan, yang merupakan buah tawakkal, sedangkan kepasrahan merupakan
tanda kebenaran tawakkal. Jika dia tidak ridha, maka kepasrahannya
tidak murni.
Dengan
menyempurnakan delapan derajat ini, berarti seorang hamba telah
menyempurnakan tawakkal dan pijakan kakinya sudah mantap di tempat
persinggahan ini.
Namun
banyak terjadi kerancuan dalam masalah yang terpuji dan sempurna ini
dengan hal-hal yang tercela dan kurang. Ada kerancuan dalam masalah
kepasrahan dengan penyia-nyiaan. Seorang hamba menyia-nyiakan bagiannya
dengan anggapan bahwa itu merupakan kepasrahan dan tawakkal, padahal itu
merupakan penyia-nyiaan dan penelantaran, bukan kepasrahan.
Ada
pula kerancuan tawakkal dengan kesantaian dan tidak mau memikul beban,
lalu pelakunya mengira bahwa dia adalah orang yang tawakkal. Ada pula
kerancuan melepaskan sebab dan meniadakannya.
Melepaskan
sebab merupakan gambaran tauhid sedangkan meniadakan sebab merupakan
zindiq dan ateis. Melepaskan sebab artinya tidak menyandarkan hati
kepada sebab, sedangkan meniadakan sebab berarti menyingkiri sebab itu
secara total. Dan masih banyak contoh lain tentang
kerancuan-kerancuan ini.
Tawakkal
merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan umum
kebergantungannya kepada Asma'ul-Husna. Tawakkal mempunyai
kebergantungan secara khusus dengan keumuman perbuatan dan sifat-sifat
Allah. Semua sifat Allah bisa dijadikan gantungan tawakkal. Maka siapa
yang lebih banyak ma'rifatnya tentang Allah, maka tawakkalnya juga lebih
kuat.
Banyak
orang yang tawakkal justru tertipu oleh tawakkalnya. Boleh jadi
seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, namun dia
tertipu. Seperti orang yang mengalihkan tawakkalnya kepada kebutuhan
parsial dengan mencurahkan seluruh kekuatan tawakkalnya. Padahal
dia bisa mendapatkan kebutuhan itu dengan cara yang paling sederhana.
Padahal
seandainya dia mencurahkan hatinya untuk tawakkal dengan menambah iman
dan ilmu serta menolong agama, maka ini jauh lebih baik baginya.
Pengarang Manazilis-Sa'irin berkata,
"Tawakkal adalah penyerahan urusan kepada yang berkuasa menanganinya
dan menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya. Ini merupakan tempat
persinggahan orang awam yang paling sulit dan jalan yang paling lemah
bagi orang-orang yang khusus. Sebab Allah telah menyerahkan semua urusan
kepada Diri-Nya dan alam tidak berkuasa terhadapnya sedikit pun."
Menyerahkan
kepercayaan kepada wakilnya, artinya lebih mementingkan tindakannya
daripada tindakanmu dan kehendaknya daripada kehendakmu. Menyerahkan
kepercayaan ini ada dua macam: Pertama, mengangkat wakil atau kepasrahan
kepadanya. Kedua, menyerahkan urusan kepada orang yang ditunjuk sebagai
wakil. Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Allah mewakilkan kepada
hamba dan menunjuknya untuk menjaga apa yang diserahkan kepadanya.
Sedangkan hamba menyerahkan
kepercayaan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Tentang penyerahan kepercayaan Allah kepada hamba-Nya, maka Dia befirman, "Jika
orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan
menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (Al-An'am: 89).
Maksudnya,
siapa yang melaksanakan apa yang diwahyukan Allah karena iman, mau
melaksanakan dakwah, jihad dan memberikan pertolongan, maka mereka
itulah yang akan diserahi Allah untuk mengemban kepercayaan ini.
Jika engkau bertanya, "Lalu bolehkah jika dikatakan, 'Seseorang menjadi wakil Allah?'"
Dapat
dijawab, "Tidak. Sebab yang disebut wakil adalah orang yang bertindak
atas nama yang menunjuknya sebagai wakil lewat cara perwakilan. Padahal
Allah tidak mempunyai wakil dan tak ada seorang pun yang menggantikan
kedudukan-Nya, tapi justru Allahlah yang menjadi pengganti hamba,
sebagaimana yang disebutkan dalam doa ketika hendak mengadakan
perjalanan, "Ya Allah, Engkau teman dalam perjalanan dan pengganti di
tengah keluarga."
Sedangkan
penyerahan kepercayaan hamba kepada Allah artinya kepasrahan hamba
kepada-Nya dan membebaskan dirinya dari sikap tertentu dan menegakkan
Rububiyah dengan ubudiyah. Inilah makna Allah sebagai wakil hamba.
Artinya, Allahlah yang mencukupinya, menangani segala urusan dan
kemaslahatannya. Sedangkan perwakilan yang diserahkan Allah kepada hamba
merupakan perintah dan ubudiyah.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat tawakkal, yang masing-masing berjalan menurut perjalanan manusia secara umum, yaitu:
1. Tawakkal yang disertai permintaan dan memperhatikan sebab, menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut.
Orang
yang memiliki derajat ini bertawakkal kepada Allah dan tidak
meninggalkan sebab. Bahkan dia mencari sebab itu dengan niat un-tuk
menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut andaikan hati
disibukkan oleh nafsu. Sebab jika hati tidak sibuk dengan sesuatu yang
bermanfaat, maka ia sibuk dengan sesuatu yang berbahaya. Apalagi jika
ada waktu senggang dan disertai semangat keremajaan clan kecenderungan
jiwa kepada nafsu serta lalai.
Mengerjakan
sebab yang diperintahkan merupakan cermin ubudiyah dan merupakan hak
Allah atas hamba-Nya, yang karenanya ada pahala dan siksa.
2.
Tawakkal dengan meniadakan permintaan, menutup mata dari sebab,
berusaha membenahi tawakkal, menundukkan nafsu dan menjaga hal-hal yang
wajib.
Meniadakan
permintaan artinya permintaan kepada hamba dan bu-kan permintaan
menurut hak. Dia tidak meminta sesuatu pun dari seseorang.
Pada
dasarnya permintaan kepada hamba itu dimakruhkan, tapi bisa mubah jika
sangat diperlukan, seperti diperbolehkannya makan bangkai bagi orang
yang terpaksa. Ahmad menetapkan bahwa permintaan kepada hamba ini tidak
wajib. Syaikh kami memberi isyarat, bahwa permintaan itu tidak layak.
Saya mendengarnya pernah berka-ta tentang permintaan ini, "Itu merupakan
kezhaliman dalam hak Rububiyah dan kezhaliman terhadap hak hamba serta
kezhaliman terhadap hak diri sendiri." Disebut kezhaliman dalam hak
Rububiyah, karena permintaan itu mengandung ketundukan kepada selain
Allah dan mengalirkan air muka kepada selain penciptanya. Mengalihkan
permintaan
terhadap Allah kepada permintaan terhadap hamba, bisa mendatangkan
murka Allah, jika kebutuhan hidupnya masih tercu-kupi pada hari itu.
Disebut kezhaliman terhadap hak hamba, karena
permintaan
itu merupakan tuntutan agar dia mengeluarkan apa yang diminta. Padahal
apa yang diminta itu merupakan sesuatu yang disukai pemiliknya. Disebut
kezhaliman terhadap hak diri sendiri, karena permintaan itu sama dengan
melecehkan harga dirinya. Permintaan makhluk kepada makhluk merupakan
permintaan orang fakir kepada orang fakir lainnya. Tapi jika engkau
meminta kepada Allah, maka engkau justru menjadi mulia di hadapan-Nya,
Dia ridha kepadamu dan mencintaimu. Tapi jika engkau meminta kepada
makhluk, maka engkau menjadi kerdil di hadapannya dan dia kurang suka
kepadamu, sebagaimana yang dikatakan dalam syair, "Allah murka jika engkau tak meminta kepada-Nya, anak Adam justru murka jika engkau meminta kepadanya."
Hamba
yang buruk ialah yang biasa meminta kepada hamba yang Iain, padahal dia
tahu Tuannya mempunyai apa pun yang dikehendakinya.
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Auf bin Malik Al-Asyja'y Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama sembilan, delapan
atau tujuh orang. Beliau bertanya, "Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?"
Memang
pada masa pelaksanaan baiat, kami masih terlalu kecil. Kami berkata,
"Kami sudah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah." Beliau bertanya lagi,
"Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?"
Kami
membentangkan tangan seraya berkata, "Kami telah berbaiat kepadamu
wahai Rasulullah. Lalu untuk apa kami berbaiat kepada engkau?"
Beliau
bersabda, "Agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun
dengan-Nya, menjaga shalat lima waktu dan janganlah kalian meminta
sesuatu pun kepada manusia." Auf bin Malik berkata, "Aku pernah melihat
sebagian di antara mereka, ketika cambuknya jatuh, maka dia tidak
meminta orang lain untuk mengambilkannya."
l)i dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Meminta-minta
senantiasa dilakukan salah seorang di antara kalian hingga dia bersua
Allah, sementara di mukanya tidak ada sekerat daging pun."
Di dalam Ash-Shahihain juga disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari atas mimbar tatkala menyebutkan masalah shadaqah dan menjaga diri untuk tidak meminta-minta,
"Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah."
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anlut, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa
meminta-minta kepada manusia karena mengingin kan harta yang banyak,
maka dia hanyalah meminta bara api. Maka hendaklah dia menganggapnya
sedikit atau menganggapnya banyak."
Dan
masih banyak hadits-hadits lain yang senada, yang menjelaskan kehinaan
meminta-minta kepada manusia. Tawakkal dengan meninggalkan permintaan
ini merupakan ubudiyah yang murni.
Perkataannya,
"Menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakkal", artinya tidak
menyibukkan diri dengan seluruh sebab, kare-na hendak membenahi tawakkal
dan menguji jiwa. Sebab ada orang yang memperhatikan sebab, dan dia
mengira telah tawakkal, padahal dia
belum tawakkal karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya.
Jika dia berpaling dari sebab, maka tawakkalnya dianggap benar.
Inilah
yang diisyaratkan sebagian ahli ibadah, yang mengarungi gu-run tanpa
membawa bekal apa pun, karena mereka menganggap bekal itu bisa menodai
tawakkal. Kisah tentang hal ini banyak dinukil dari mereka. Inilah
Ibrahim Al-Khawwash, orang yang sangat detail dalam tawakkalnya. Memang
dia mengarungi gurun tanpa membawa bekal.
Tapi
dia tidak pernah ketinggalan membawa benang, jarum, kantong kulit dan
gunting. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, "Mengapa engkau membawa
barang-barang itu, sementara engkau tidak membawa bekal yang lain?" Dia
menjawab, "Yang seperti ini tidak mengurangi
tawakkal.
Sebab Allah telah menetapkan beberapa kewajiban kepada kita. Orang
fakir hanya mempunyai satu lembar pakaian. Boleh jadi pakaiannya itu
robek. Jika dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya akan
kelihatan sehingga shalatnya tidak sah. Jika dia tidak membawa kantong
kulit, maka dia tidak bisa bersuci. Jika engkau melihat orang fakir yang
tidak mempunyai jarum, benang dan kantong kulit, maka curigailah
shalatnya."
Perhatikanlah
bagaimana dia merasa bahwa agamanya belum benar kecuali dengan sebab?
Membebaskan diri dari sebab secara total merupakan tindakan yang
ditentang akal, syariat dan indera. Memang adakalanya seseorang memiliki
keyakinan yang amat kuat terhadap Allah, yang mendorongnya untuk
meninggalkan sebab yang selayaknya seperti orang yang menantang bahaya.
Saat itu dia memasrahkan diri kepada Allah dan tidak mengandalkan
dirinya sama sekali. Lalu datang pertolongan dari Allah. Tapi keadaan
ini tidak terjadi secara terus-menerus.
Kisah-kisah
yang biasanya dinukil orang-orang sufi berkaitan dengan masalah ini,
bersifat parsial dan insidental, bukan merupakan jalan yang
diperintahkan untuk diikuti dan tidak bisa ditetapkan. Sehingga hal ini
menimbulkan cobaan bagi dua golongan manusia: Pertama, golongan yang
menganggap kisah-kisah itu merupakan jalan kehidupanyangpasti, sehingga
mereka berbuat hal yang sama. Kedua, golongan yang menyalahi syariat dan
akal, yang menganggap keadaannya lebih
sempurna daripada keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.
3.
Tawakkal dengan mengetahui tawakkal, membebaskan diri dari noda
tawakkal, menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu
merupakan kekuasaan yang agung, tidak ada sekutu yang menyertai-Nya,
bahkan sekutu-Nya bersandar kepada-Nya. Urgensi ubudiyah ialah jika
hamba mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya yang merajai segala
sesuatu.
Artinya,
selagi orang yang berada pada derajat ini memutuskan sebab dan
permintaan dan sudah melewati dua derajat sebelumnya, maka tawakkalnya
lebih baik daripada tawakkal dua derajat sebelumnya.
Setelah
dia mengetahui hakikat tawakkal dan mengetahui pendorong untuk
membebaskan diri dari noda tawakkal, atau yang tadinya tidak mengetahui
noda tawakkal lalu mengetahui hakikatnya, berarti pada saat itu
tawakkalnya sudah memiliki ma'rifat yang menyerunya untuk membebaskan
diri dari noda tawakkal. Kemudian ma'rifat untuk mengetahui noda
tawakkal ialah menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu
merupakan kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang memiliki kekuatan,
pencegahan dan penundukan, yang menolak disertai sekutu selain-Nya, dan
Dia Mahaagung dalam kekuasaan-Nya.
(Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Tawakkal-Madarijussalikin jilid 2, hal. 112)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar